SIGN IN YOUR ACCOUNT TO HAVE ACCESS TO DIFFERENT FEATURES

CREATE AN ACCOUNT FORGOT YOUR PASSWORD?

FORGOT YOUR DETAILS?

AAH, WAIT, I REMEMBER NOW!

CREATE ACCOUNT

ALREADY HAVE AN ACCOUNT?
© 2015 Munif Chatib.
  • SIGN UP
  • LOGIN
  • Beranda
  • Profil
  • Buku
  • Artikel
  • Video
  • Tutur Sahabat
  • Kontak

Jangan Jadi Guru ‘Materialis’ – Mengukur Komitmen Guru

by master / Wednesday, 30 May 2012 / Published in Artikel

 

JANGAN JADI GURU MATERIALIS – MENGUKUR KOMITMEN GURU

By Munif Chatib

Sekali lagi seorang Kepala Dinas Pendidikan menitipkan pesan kepada saya untuk disampaikan kepada para gurunya, yaitu agar selalu mengajar dengan baik dan profesional kepada semua guru, terutama yang sudah sertifikasi.

“Pak Munif tolong beri motivasi dan semangat para guru ya agar mereka lebih baik lagi dalam bekerja, terutama yang sudah sertifikasi. Saya heran mereka kok malah yang paling malas untuk pelatihan”.

Memang sekolah sebagai institusi yang didalamnya wajib membutuhkan sentuhan manajemen sumber daya manusia, sebagai maqom manajemen yang tertinggi, guru adalah komponen yang maha penting.

Bahkan kualitas pendidikan bangsa ini banyak ditentukan oleh kualitas para gurunya. Guru adalah ‘boss in the class’. Guru adalah orang yang bertatap muka langsung dengan peserta didik. Artinya roda komunitas yang bernama sekolah sangat diwarnai oleh kinerja para gurunya.

Pentingnya peranan dan kualitas seorang guru berdampingan dengan banyaknya problematika yang dihadapi oleh para guru. Hal yang mendasar pada problem tersebut adalah ‘KEMAUAN’ untuk maju. Apabila kita percaya tidak ada siswa yang bodoh dengan multiple intelligences-nya masing-masing, maka kita juga harus percaya bahwa ‘tidak ada guru yang tidak becus mengajar’. Hanya saja kenyataan yang terjadi adalah keengganan guru untuk terus belajar dan bekerja dengan baik disebabkan oleh tidak adanya ‘KEMAUAN’ untuk belajar dan maju.

Saya sangat setuju dengan pernyataan seorang teman yang memimpin sebuah sekolah yang berkualitas.“Pak Munif tidak semua guru lho mau diberikan pelatihan. Jika seperti itu maka sebagus apapun materi dan kemasan dalam pelatihan itu, biasanya guru tidak akan berhasil mengambil manfaat dari pelatihan itu. Oleh sebabitu, saya merancang sebuah sesi pendaftaran kepada guru-guru saya yang ‘MAU’ ikut pelatihan dengan batasan waktu. Dari situ saja saya sudah tahu, mana guru yang ‘tertarik’ dan ‘tidak tertarik’.

Dua tahun yang lalu pemerintah memulai melaksanakan program sertifikasi guru. Program ini sebenarnya diawali dari sebuah hipotesa, bahwa guru yang professional dan berkualitas akan terwujud apabila kesejahteraannya mencukupi. Sebaliknya jangan harap seorang guru akan professional, jika kesejahteraannya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.

Beberapa bulan yang lalu, ternyata hipotesa itu terjawab. Dari data statistik yang dianalisa oleh teman-teman asesor menyebutkan bahwa para guru penerima tunjangan profesi yang cukup besar, ternyata belum menunjukkan kemajuan kualitas dalam proses mengajarnya. Mereka tidak berubah, mengajar biasa-biasa saja. Meskipun mereka sudah menerima tunjangan profesi sebagaimana yang diharapkan pemerintah untuk menjadi guru yang professional dengan berbagai kriteria yang sudah ditentukan dalam proses sertifikasi guru.

Jadi, menurut penulis ada hipotesa baru, yaitu ‘besarnya penghasilan guru belum tentu menjadi penyebab berkembangnyakualitas guru dalam bekerja’.

Dilihat dari faktor ‘KEMAUAN’ untuk maju, maka ada 3 jenis guru :

Pertama, ‘GURU ROBOT’, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk, mengajar, lalu pulang. Mereka yang peduli kepada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi. Apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan perintah berdasarkan apasaja yang sudah di programkan. Guru jenis ini banyak sekali menggunakan ungkapan seperti ini.

“Wah …itu bukan masalahku…itu masalah kamu. Jadi selesaikan sendiri ….” Atau

“Maaf aku tidak dapat membantu … sebab hal ini bukan tugas saya…”.

Kedua, ‘GURU MATERIALIS’, yaitu guru yang selalu melakukan hitung-hitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual beli atau yang lainnya. Parahnya yang dijadikan patokannya adalah ‘HAK’ yang mereka terima. Barulah ‘KEWAJIBAN’ mereka akan dilaksanakan sebesar tergantung dari HAK yang mereka terima. Guru ini pada awalnya merasa professional, namun akhirnya akan terjebak dalam ‘KESOMBONGAN’ dalam bekerja. Sehingga tidak terlihat ‘benefiditasnya’ dalam bekerja. Ungkapan – ungkapan yang banyak kita dengar dari guru jenis ini antara lain:

“Cuma digaji sekian saja … kok mengharapkan saya total dalam mengajar… jangan harap ya …”.

“Percuma mau kreatif, orang penghasilan yang diberikan kepada saya hanya cukup untuk biaya transport…”.

“Kalau mengharapkan saya bekerja baik, ya turuti dong permintaan gaji saya sebesar …..”.

Dan seterusnya …

Ketiga, ‘GURUNYA MANUSIA’, yaitu guru yang mempunyai keikhlasan dalam hal mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswanya berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas untuk introspeksi apabila ada siswanya yang tidak bisa memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar. Sebab mereka sadar, profesi guru adalah makhluk yang tidak boleh berhenti untukbelajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan mengembangan.

GURUNYA MANUSIA ,jugamanusia yang membutuhkan ‘penghasilan’ untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bedanya dengan GURU MATERIALIS, GURUNYA MANUSIA menempatkan penghasilan sebagai AKIBAT yang akan didapat dengan menjalankan kewajibannya. Yaitu Keikhlasan mengajar dan belajar.

Sudah banyak contoh yang mana rizki seorang guru tiba – tiba diguyur oleh Allah SWT dari pintu yang tidak terduga, atau dariakibat guru tersebut terus menerus belajar.

Ada teman guru yang mendapatkan kesempatan ‘belajar’ di luar negeri sebab mempunyai prestasi dalam membuat lessonplan. Ada teman guru mendapatkan rizki sebab dengan tekun menulis buku ajar untuk siswa di sekolah tempat dia bekerja. Ada teman guru yang menulis kisah-kisah yang unik yang dialami di kelas pada saat diabelajar. Ada teman guru yang sekarang menjadi ‘bintang’ banyak sekali dibutuhkan pemikiran-pemikirannya untuk banyak guru di Indonesia, dan lain-lain.

Walhasil, Allah tidak maha mendengar. Maha melihat dan maha mengetahui apa yang dinginkan oleh hambanya yang bertawakkal.

Sekarang … tundukkan wajah sejenak.  Ambil nafas … lakukan instropeksi. Anda termasuk guru jenis yang mana? Bagaimana pun anda. Sekarang anda sudah tahu harus bagaimana menjadi seorang guru yang professional.

 

 

 

  • Tweet

About master

What you can read next

HEBATNYA SISWA TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN RINGANNYA KURIKULUM
Multiple Intelligences Menurut Perspektif Munif Chatib
MELURUSKAN INFORMASI TENTANG BUKU TRUTH, BEAUTY AND GOODNESS REFRAMED KARYA HOWARD GARDNER

4 Comments to “ Jangan Jadi Guru ‘Materialis’ – Mengukur Komitmen Guru”

  1. Kreshna Aditya says :Reply
    May 30, 2012 at 2:52 pm

    Salam, Pak Munif. Saya pernah menulis ttg hal yg serupa dr sudut pandang berbeda, yaitu dr sudut pandang ekonomi, terutama prinsip insentif/disinsentif yg sering terabaikan oleh para penyusun kebijakan pendidikan [contoh: UN yg diposisikan sbg high-stake standardized test sehingga jd insentif utk perilaku2 instan & disinsentif bg org2 yg utamakan proses & kejujuran]. Saya buat tulisan berseri ttg ini, yg terkait dgn peningkatan kualitas guru ada di sini >> http://www.bincangedukasi.com/insentif-dan-pendidikan-3.html. Pada intinya memang belum ada penelitian yg jelas mengenai apa yg menjadi drive / anti-drive bagi guru2 kita utk maju, serta faktor2 apa saja yg mempengaruhinya. Selama ini kita masih mengira2 & tebak2an saja. Menurut saya, berbagai program peningkatan kualitas & profesionalisme guru, walaupun banyak yg secara konten & konsep bagus, namun belum efektif karena memberikan insentif/disinsentif yg tidak pas untuk guru. Lepas dari tuntutan ideal pd guru bahwa mereka hrs ikhlas, namun guru2 kita jg manusia yg dipengaruhi oleh insentif/disinsentif, pain/pleasure. IMHO, ini yg harus kita cari dulu secara lebih empiris, tidak dgn tebak2an seperti selama ini. Mohon pencerahannya…

  2. dijhe says :Reply
    June 3, 2012 at 9:52 pm

    Betul pak Munif.emang bete banget liat guru yg gak ikhlas kalo ngajar.dan memang keliatan dari raut wajahnya,antara guru yg mengajar dgn ikhlas dgn guru yg mengajar krn terpaksa.alhamdulillah guru anak saya di tk sangat perhatian dan slalu sabar tersenyum,walaupun anak saya sangat bandel di sekolah.saya sangat salut.

  3. Nasrul says :Reply
    June 4, 2012 at 11:46 am

    saya juga baru saja melakukan hal yang dilakukan kepala sekolah yang meinta mendaftar guru yang mau pelatihan, itu memang harus dilakukan karena tidak semua orang belajar dengan baik atau hanya memilih biasa – biasa saja, jika yang dikirim orang yang punya kemauan untuk belajar maka hasilnya akan baik dan segera melangkah untuk menerapkannya dengan penuh semangat….

  4. ninik febriani says :Reply
    June 4, 2012 at 11:55 am

    ass , pak Munif saya sudah membaca 2 buku yang bapak tulis, saya harus memberi pujian luar biasa untuk bapak karena dengan buku Sekolahnya Manusia dan Gurunya manusia saya menjadi terbangun dari tidur panjang yang melelahkan karena selama ini hanya mengajar kurang memakai hati. ( mungkin) namun sebenarnya saya sudah berusaha mengajar sesuai dengan kebutuhan siswa tetapi tak jarang saya berbenturan dengan pendapat orang banyak di sekolah saya.Juga situasi yang selama ini selalu dihadapi oleh siswa saya.Input di sekolah saya adalah siswa/i yg patuh ( bahasa yang sering saya gunakan karena mereka melakukan sesuatu selalu berdasarkan petunjuk ) Dan hal itu sering tak saya sukai . Saya sebagai guru pembimbing di SMP N 40 Jakarta yang amat sangat memahami keberagaman karakter siswa saya , tetapi saya juga sering mendapat teguran karena dianggap terlalu membela siswa saya yang tak patuh tersebut.Dan menurut saya bukan hal mudah berjalan di rimba pendidikan yang selalu patuh dengan petunjuk atasan dan atasan lagi, padahal yang di hadapi adalah siswa yang harusnya mereka yang menentukan kehidupan mereka ….Saya ingin sekali bisa selalu berkomunikasi dengan bapak Munif untuk bisa bertukar pikiran …mohon dibalas ya pak…

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Beranda
  • Profil
  • Buku
  • Artikel
  • Video
  • Tutur Sahabat
  • Kontak
TOP