ANAK KITA BUKAN KITA, LALU SIAPA MEREKA?
By Munif Chatib
Sungguh, jika ada barisan atau kerumunan anak-anak. Lalu anak kita masuk ke dalamnya. Pasti kita tahu mana anak kita. Sebab dengan mudah kita mengetahui anak kita dari fisiknya. Mungkin rambutnya yang ikal, badannya yang gemuk, atau kulitnya yang putih dan lain-lain. Orangtua memang mampu mengenal anaknya secara fisik, namun belum tentu secara psikis. Kalau secara fisik mudah dilihat oleh indera kita, namun mengenal anak secara psikis, susah melihatnya secara langsung. Artinya orangtua membutuhkan keilmuan khusus untuk mampu menyelami anaknya secara psikis.
Ada seorang ayah yang bertanya kepada saya. “Emang penting mengetahui anak kita secara psikis? Untuk apa?”. Saya langsung menjawab dengan bercerita panjang bahwa salah satu penyebab utama masalah disharmonisasi hubungan orangtua dengan anaknya adalah ketidaktahuan orangtua terhadap kondisi psikis anak-anaknya. Bukan masalah perkembangan fisik. Sebab solusi dari masalah fisik sangat mudah. Ketika ukuran baju atau sepatu anak kita sudah tidak mencukupi, maka solusinya beli baju atau sepatu baru yang ukurannya sesuai. Tidak demikian sederhana ketika yang menjadi masalah adalah perkembangan psikis anak kita, dari bayi, balita, anak-anak, pra baligh, baligh, remaja dan akhirnya dewasa. Sungguh, tidak sederhana. Tidak seperti mengganti ukuran dari kecil menjadi besar.
Mengetahui kondisi psikis anak kita, harus kita mulai dari sebuah paradigma yaitu ANAK KITA BUKAN KITA. Hal ini sangat penting. Saya sering bertanya kepada orangtua tentang harapan ke depan anaknya ingin menjadi apa. Rata-rata orangtua menjawab menginginkan anaknya menjadi A, B, C, dan lain-lain. Oleh karena itu anaknya harus melakukan A, B, C dan lain-lain. Kesimpulannya hampir setiap orangtua menginginkan anaknya dibentuk berdasarkan apa yang orangtua inginkan. Padahal faktanya bisa saja keinginan, kebutuhan, rasa suka dan bakat anak berbeda dengan orangtuanya.
Ayo munculkan paradigma baru, bahwa ANAK KITA BUKAN KITA, pasti orangtua akan memberikan kesempatan untuk mengajak berbicara anaknya. Terutama tentang keinginannya, kebutuhannya dan rasa sukanya. Jika bakat anak kita ada yang mirip dengan orangtuanya, maka hal itu wajar. Namun yang akan menjadi masalah jika bakat anaknya tidak sama dengan orangtuanya, lalu ditarik dan dipaksa agar sama, maka percayalah anak kita akan tidak bahagia. Menjadi orangtuanya manusia, harus memahami dan siap mengaplikasikan paradigma ANAK KITA BUKAN KITA. Dan orangtua harus mendukung bakat dan minat anaknya. Jika hal ini dilakukan maka orantua lulus level pertama menjadi ORANGTUANYA MANUSIA.
- Published in Artikel
Cara Belajar Anak Usia Dini
By Munif Chatib Dalam berbagai referensi anak usia dini adalah anak yang bersekolah pada jenjang SD kelas 3 ke bawah. Jadi di mulai dari bayi. Benyamin S. Bloom lewat bukunya “Stability and Change in Human Characteristic” membuktikan bahwa 50% kemampuan belajar seseorang ditentukan dalam 4 tahun pertamanya. Sedangkan 30 % yang lainnya dikembangkan dalam usia ke delapan. Hal-hal lain yang seseorang pelajari sepanjang hidup akan dibangun di atas dasar tersebut. Masa perkembangan otak ini dikenal dengan nama GOLDEN AGE (USIA EMAS). Anak pada USIA EMAS ternyata RAJA dalam PEMBELAJARAN. Mereka sangat ingin tahu apa saja. Langit yang berwarna birupun ditanyakan. Seorang bayi akan meneliti selembar kertas yang disodorkan kepadanya, bahkan mungkin dia akan memakan kertas itu agar ia tahu apa sebenarnya kertas itu. Atas dasar itulah maka berbagai sekolah terutama tingkat Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak (TK) menjadikan anak-anak seusia tersebut harus dipaksa belajar banyak hal, terutama MEMBACA, MENULIS dan MENGHITUNG. Kata beberapa orang sah-sah saja mengajari anak usia dini dengan materi-materi membaca, menulis dan menghitung agar cepat ‘BISA’. Kan anak usia dini adalah pembelajar terbaik. Menurut saya, anak usia dini memang PEMBELAJAR YANG BAIK DAN CEPAT. Hanya saja ada dua pertanyaan mendasar, yaitu belajar tentang apa pada masa itu?. Lalu bagaimana cara mengajarinya? Pertama, sungguh anak usia dini waktunya belajar hal-hal yang konkrit, nyata dan kontekstual. Contohnya anak usia dini ingin belajar naik tangga, melompat, ada barang baru di rumah, rumput-rumput yang hijau di halaman, bermain tanah dan lain-lain. Anak usia dini belum waktunya belajar secara abstrak atau tekstual. Anak usia dini tidak perlu harus belajar berpikir tentang definisi nakal itu apa? Harus mampu menulis dan menghitung soal-soal perhitungan yang abstrak. Nanti setelah lewat usia dini, barulah otak anak kita membutuhkan pengetahuan yang tekstual untuk melengkapi pengetahuan kontekstualnya. Kedua, cara memberi informasi sesuatu yang kontekstual kepada anak usia dini adalah dengan permainan yang menyenangkan. Anak usia dini tidak suka dengan tekanan dalam belajar. Tekanan dalam belajar akan menurunkan minat anak usia dini untuk mengetahui banyak hal. Jadi sebagai guru dan orangtua, kita harus adil terhadap pola asuh anak kita. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Insyallah anak kita akan bahagia. Jakarta, 4 November 2017
- Published in Artikel